Wednesday 6 April 2011

UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I
UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
UUSPN NO 2 TAHUN 1989-UU SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN 2003)

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia telah menyusun undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan. Seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi, pemerintah telah banyak mengadakan perubahan/membuat, merevisi, dan menghapus undang-undang pendidikan. Berbagai konsistensi (konsistensi dapat diartikan dengan ketetapan, kesepatakatan. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, 1994: 363) pemerintah ini banyak mengalami berbagai perubahan dari tahun ke tahun. 

Setidaknya ada tiga Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN, dan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS.

1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1950

Satu hari sesudah Indonesia merdeka, Indonesia mengungumunkan UUD Negara Indonesia kesatuan disertai dengna pembentukan pemerintah (kabinet). Dalam suasana ini, pengurus pemusyawaratan mengadakan kongres masalah pendidikan dengan mengumpulkan cendikiawan sebanyak mungkin. Kongres ini berlangsung dari tanggl 4-5-6 April 1947 di Surakarta. Kongres ini menghasilkan rencana pokok pendidikan dan pengajaran yang kelak menjadi pedoman bagi pemerintah dalam menyelenggarakan sekolah-sekolah. Rencana undang-undang ini selesai pada tahun 1948. Pada tanggal 6 Agustus 1949 rencana undang-undang ini kepada DKNIP. Rencana undang-undang ini diterima dan disyahkan oleh DKNIP pada tanggal 27 Desember 1949. (B. Suryobroto, 1990:35-36)

Selanjutnya pada tahun 1954 dikeluarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia. Undang-undang ini lahir sebagai akibat dari perubahan sistem pemerintahan Indonesia pada saat itu, dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berganti menjadi Negara Republik Indonesia Serikat, dan kembali lagi menjadi negara kesatuan.

Sistem pendidikan nasional pada masa ini masih belum mencerminkan adanya kesatuan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 hanya mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah, sementara penyelenggaraan pendidikan tinggi belum diatur. Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Tinggi baru lahir pada tahun 1961 dengan disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang penyelenggaraan perguruan tinggi.

Berlakunya dua undang-undang dalam sistem pendidikan, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-undang No. 22 Tahun 1961 sering dipandang sebagai kendala yang cukup mendasar bagi pembangunan pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang tersebut, di samping tidak mencerminkan landasan kesatuan sistem pendidikan nasional, karena didasarkan pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, juga tidak sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

Posisi Pendidikan Islam

Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai undang-undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama undang-undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua.

Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan:

1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut;
2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.

Namun demikian, undang-undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. (lihat UU No. 4 Tahun 1950 Pasal 2 ayat 1 dan 2, dan Pasal 20). Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.

2. UUSPN No. 2 Tahun 1989

Hadirnya UU No 4 Tahun 1950 ini belum mencerminkan harapan rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tentu saja undang-undang ini menuai protes dari berbagai kalangan umat Islam. Pada akhirnya lahirlah undang-undang UUSPN No 2 Tahun 2003. Inti perubahan undang-undang ini adalah karena undang pendidikan keagamaan (PAI) dikesampingkan. Tidak dipungkiri bahwa undang-undang tahun 1950 masih diwarnai dengan undang-undang kolonialisme.

Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini.

Posisi Pendidikan Islam

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 yang mana undang-undang tersebut tidak memihak kepada pendidikan Islam, maka isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam undang-undang yang muncul 39 tahun kemudian dari undang-undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. (Lihat UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 11 ayat 1 dan 6, dan Pasal 15 ayat) Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. (Lihat UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 39 ayat)
Lebih dari itu, undang-undang ini menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan nasional. (Lihat UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 4) Keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan.

3. UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003

Depdiknas telah merevisi UU No. 2/1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya ditulis UUSPN) dengan alasan bahwa UUSPN No.2 tahun 1989 sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. (Imam Samroni, Makalah Diskusi Panel: 1)

Undang-undang sisdiknas terbaru ini memberikan penekanan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna. Selain itu, pendidikan diselenggarakan: sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; dan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Undang-Undang No.20/2003 Bab VI pasal 13 menetapkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui jalur formal, non formal, dan informal yang penyelenggaraannya dapat saling melengkapidan saling memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

Sementara saat akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh kelompok tertentu sebagai RUU yang sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan.
Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam.

Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tetap mempertahankan dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Hal tersebut termaktub dalam Bab II pasal 2 yang bunyi lengkapnya adalah “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Bab II pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Posisi Pendidikan Islam

Memasuki era reformasi, sembilan tahun setelah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 diundangkan, pendidikan nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan. Bahkan UUD 1945 pun yang memayungi lahirnya setiap Undang-Undang pendidikan, tak mampu menahan dari desakan amandemen sehingga pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan berlakunya UUD hasil empat kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini mengamanatkan agar pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan nasional.

Selengkapnya amanat UUD itu berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. (UUD 1945 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13)

Demi memenuhi amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan, maka pada tanggal 8 Juli 2003 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sini lah pendidikan agama dan keagamaan mendapatkan angin segar dan ruang gerak yang leluasa yang setidaknya ditegaskan dan diisyaratkan dalam 12 point dari Undang-Undang tersebut, yaitu pada:

1. Konsideran “menimbang”,
2. Bab I tentang Ketentuan Umum,
3. Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional,
4. Pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik,
5. Pasal 17 ayat 2 tentang bentuk Pendidikan Dasar,
6. Pasal 18 ayat 3 tentang bentuk Pendidikan Menengah,
7. Pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan nonformal,
8. Pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan,
9. Pasal 36 ayat 3 tentang aspek kurikulum,
10. Pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar,
11. Pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan
12. Pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen Agama.

Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan akhlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral.

Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”.

Dalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan:

1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut;
2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.

Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam di mana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran.

Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs.

Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islam.

Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik semua kontroversi yang ada pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional disyahkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.

Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ini, di antaranya :

1. Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan nilai-nilai Alquran yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal 3).
2. Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a)
3. Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18)
4. Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30).
5. Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (Pasal 37).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi perubahan UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20/2001.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dirubahnya UUSPN No 2/89 menjadi UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 di antaranya adalah :

1. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih bersifat sentralistik
2. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih belum bermutu, kemudian sesuai tuntutan dalam UUSISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dibuatlah Standar Nasional Pendidikan
3. UUSPN No. 2 Tahun 1989 belum mengarah pada pendidikan untuk semua
4. Belum Mengarah pada pendidikan seumur hidup
5. Pendidikan belum link and match dengan dunia usaha dan dunia kerja.
6. Belum menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.

DAFTAR PUSTAKA

A. Partanto, Pius dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Hasan, Chalidjah. Kajian Perbandingan Pendidikan. Surabaya: Al Ikhlas.
Imron, Ali. 1996. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2010 Tentang kriteria kelulusan peserta didik Pada sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah, sekolah Menengah pertama luar biasa, sekolah menengah atas/madrasah Aliyah, sekolah menengah atas luar biasa, dan sekolah menengah kejuruan tahun pelajaran 2010/2011
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media Sumarso, Makalah, Perjalanan Kurikulum Di Indonesia
Siskandar. 2003. KBK Pendidikan Dasar dan menengah (makalah). Jakarta: Pusat Kurikulum, Depdiknas.
Shaleh, Abdurrahman. 2003. Kebijakan Kurikulum Madrasah (makalah). Jakarta: Depdiknas, Depag RI
Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Cet. Keenam
Sulistyorini, Sulis. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya dalam KTSP. Yogyakarta: Tiara Wacana
Suryosubroto. 1982. Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta 
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Kembali Undang-Undang No. 4 Tahun 1950
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 1989)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS 2003).
Sumber : undang-undang-sistem-pendidikan.html
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More